Lelaki Pengembara dan PakTua di Lampu Merah

Selasa, Maret 29, 2011

“Apapun yang terjadi, teruslah menjadi orang baik, dengan niat baik dan dengan cara-cara yang baik, yakinlah Allah akan selalu ada untuk memberikan jalan terbaik agar kita jadi hambanya yang lebih baik”

Malam semakin rapat merajut gelap. Hujan semakin mesra memandikan alam. Motor dan mobil berkejaran menyibak jalan yang penuh genangan air., kemudian segera hilang dalam kejauhan. Tak bisa dipungkiri, hujan yang telah mengguyur Jogja sejak siang hari, masih setia hadir hingga malam gelap yang memuncak. Angin kencang yang menari, kilatan petir yang terus berkedip, hingga dingin yang menyayat-nyayat kulit, membuat siapa saja akan berpikir dua kali untuk setia berada di luar rumah. Lihat saja kendaraan yang berkejaran.

Tetapi seorang tidak bagi seorang pemuda dengan tas hitam dipunggungnya itu. Ia telah berada di emperan apotek di ujung perempatan Ring Road Utara, tepat dipersimpangan jalan menuju Kaliurang itu sejak sore tadi. Saat hujan turun dengan amarahnya. Bajunya telah basah. Bahkan seuruh pakaiannya sudah teramat basah. Yah, sejak turun dari Trans Jogja di Shelter Kentungan sore tadi, ia seakan telah terjebak dalam hujan. Wajahnya pucat sayu. Beberapa kali mencoba menghentikan mobil yang lewat, tapi sayang, semua tak bisa mendengarkan. Mereka melaju seakan tak pernah melihat aku.


Sebagai seorang pengembara, pemuda yang sedang kehabisan bekal itu sejatinya hanya akan berteduh sejenak, sambil menunggu hujan sedikit bersahabat dengannya. Ia menunggu hujan reda, paling tidak hanya menyisakan tetesan lembut gerimis. Sayangnya, hingga jalanan mulai sepi, ia masih saja disana. Jangankan naik angkot Jogja-Kaliurang, untuk membeli sepotong roti pengganjal perut saja ia tak punya. Perutnya semakin melilit dengan udara yang semakin dingin menusuk tubuh. Ia hanya bisa menguatkan pijakan kakiknya, mengurangi kepenatan dan kelaparannya, begitu yang ada di benaknya.

Belum hilang rasa lapar dan lelahnya, ia juga diliputi kebingungan, bagaimana ia akan pulang nanti, sementara malam semakin larut dan hujan pun tak kunjung reda. Jarak yang harus dia tempuh untuk sampai rumahnya, masih sekitar delapan kilometer lagi. Cukup dekat jika hanya ditempuh dengan kendaraan, tentu saja bukan untuknya. Dia hanya seorang pengembara yang masih setia bertumpu pada kakinya. Ia hanya seorang pejalan kaki. Apalagi dengan kondisi jalan yang menanjak. Berharap suatu saat dia akan berada di puncak tertinggi.

Kalau saja tak ada keyakinan yang begitu kuat dalam jiwa raganya, mungkin sudah sejak lama ia akan menyerah pada keadaan yang masih selalu tak memihak pada orang-orang kecil sepertinya. Yah, ia hanya punya sebuah keyakinan, keyakinan yang telah mendarah daging dalam setiap sel-sel tubuhnya, ia hanya yakin bahwa Allah ‘Azza wa Jalla, Tuhannya, selalu punya rencana yang jauh lebih baik untuk setiap hambanya. Karena itu, dalam kesepiannya, ia selalu merasa Allah selalu bersamanya. Bahkan saat ia sedang melakukan banyak kesalahan, Allah selalu membimbingnya. Aku sendiri sering mendengar ia berdo’a, hanya satu do’a yang ia panjatkan, “Allah Tuhanku, Bimbing Langkah aku dalam Keindahan-MU..”

Belum lama berselang, datang seorang lelaki tua dengan motor tuanya, berhenti tepat di depan apotek. Sejenak sebelum masuk apotek, lelaki tua itu melihat ke arah si pemuda itu, lantas tersenyum. Beberapa saat lelaki tua itu keluar, lalu menuju motor tuanya. Sebelum menstarter motornya, ia melihat lagi ke ara pemuda yang duduk tertunduk, sedang merapatkan kakinya. Lelaki tua itu lantas tersenyum dan menghampirinya.

“Nunggu siapa, Nak?”
“eh, bapak,.. ndak kok pak, ndak nunggu siapa-siapa, Cuma nunggu hujan.”
“Hujan kok ditunggu... memangnya mau kemana, Nak? Sampeyan mau ke atas nggih?”
“Iya, pak. Sebenarnya mau ke atas. Tapi masih hujan.”
Lampu merah menyala. Menghentikan beberapa mobil dan motor yang melaju.
“Memangnya di atasnya daerah mana, nak..?”
“e.. jakal Km 13, pak. Di daerah Besi.”
“Ya sudah, ayok, bareng bapak saja. Bapak mau ke rumah kontrakan menantu bapak, di Km.12. besok pagi rencananya mau pindahan. Ayo, nak..” bapak itu melangkah menuju motornya.
“wah, ngerepotin, Pak. Nggak apa-apa, biar saya nunggu hujan agak reda saja.”
“Sudah, nggak ada yang direpotin. Terus, nanti kalau hujannya berhenti, mau naik apa ke atasnya, jam segini sudah nggak ada angkutan yang ke atas kan.. Hujan juga nggak bakalan reda. Sudah ayo..” Lelaki tua itu mulai menyalakan motor tuanya.
Pemuda itu bangkit. Dengan langkah malu-malu ia menuju motor Pak tua, lalu duduk. Motor itupun melaju. Berjalan perlahan membelah jalanan yang basah an licin disapu gulungan hujan. Perlahan mengiris jalan kaliurang.
Sepanjang jalan bapak itu bercerita panjang lebar tentang banyak hal. Cerita tentang isterinya yang setia, atau anak sulungnya yang sudah enam tahun tak pulang, sejak pertama kali merantau ke Jakarta. Cerita-ceritanya dalam bahasa jawa mengalir begitu saja. Seperti aliran hujan. Tak jarang terselip petuah-petuah bijak nan ajaib. Bahkan dibumbui guyonan-guyonan segar.
Tepat di pom bensin di Jakal Km. 12, motor pak Tua yang membawa kami berdua mogok. Lihat apa yang dikatakan Pak Tua itu:
“Maap,nak, maklum motornya setua pemiliknya.”

Saat kubantu mendorngnya, si bapak malah nggak membolehin. Tapi aku tetap saja memaksa mendorongnya, sampai di rumah kontrakan anak keduanya di dusun candisari. Besok pagi mereka akan pindah ke Bantul, ke rumah pak tua. Mendorong motor tua, malam-malam, bersama seorang bapak tua yang menyenangkan, membuat pemuda itu bahagia. Ia dapat belajar banyak. Bahwa kebaikan itu, sekecil apapun, tetap bernilai. Tak peduli kau orang kaya, tak pedulu kau orang tak punya, tetap saja jadi orang baik. Wong kita punya Gusti Pengeran, kata bapak itu bijak.

Saat sang pemuda hendak pamit untuk meneruskan perjalanan, bapak tua itu memberikan sedikit tambahan bekal. Beberapa buah pisang rebus hangat. “Biar nggak masuk angin,” katanya. Dengan sebuah senyuman penuh keikhlasan. Menambah kekuatannya untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang masih sangat panjang. Sebuah pesan mengiringi langkah pertamanya. “Nak Mas, Apapun yang terjadi, teruslah menjadi orang baik, dengan niat baik dan dengan cara-cara yang baik, yakinlah Gusti Allah akan selalu ada untuk memberikan jalan terbaik agar kita jadi hambanya yang lebih baik” luar biasa Pak, begitu kira-kira hatinya berteriak bahagia.

Hujan semakin merajam gulita malam. Memenjarakan setiap makhluk dalam kedinginan. Pemuda itu tetap terus berjalan menerobos hujan yang semakin mengganas. Meneguhkan kaki agar tetap memiliki tujuan. Dalam hatinya, kebaikan bapak tua dengan kesederhanaannya yang sempurna itu, akan selalu melekat adlam ingatannya. Sebuah janji yang akan ia pegang erat. “Pak, kita akan bertemu lagi.” Lalu ia menghilang ditengah hujan...

Mohammad van Tovich
Besi, Saturday, 19032011/11:07:15 PM

0 komentar: