PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM

Selasa, Mei 13, 2008

BAB I
PENDAHULUAN

Kaum muslimin generasi sahabat setelah wafatnya Rasulullah Saw. memegang peranan penting dalam keberhasilan mengajarkan dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Dengan perjuangan yang begitu luar biasa, Islam mampu menguasai dan menyinari seluruh penjuru dunia tidak hanya pada kawasan panas semenanjung Arabia.
Keberhasilan ini tidak terlepas peranan Khulafaur Rasyidin. Dimulai oleh Abu Bakar as-Siddiq r.a., dilanjutkan masa Umar bin Khattab r.a., berkelanjutan masa Utsman bin ’Affan r.a. dan berakhir pada masa Ali bin Abi Thalib r.a. yang telah melandasi perkembangan pemikiran dan peradaban Islam masa khulafaur rasyidin.
Setelah dua periode kekhalifahan awal, khususnya kematian Umar bin Khattab r.a. yang dapat dikatakan tragis, mengawali masa-masa penuh fitnah yang menyergap dan menggoncang kesatuan dan keutuhan umat Islam.
Walaupun demikian, pemerintahan pada masa Utsman bin ’Affan dan Ali bin Abi Thalib mampu membawa prestasi dalam hal pemikiran maupun peradaban Islam yang masih dapat kita rasakan sampai saat ini. Dari kodifikasi al-Qur’an hingga pembebasan wilayah jajahan Persia dan Romawi dengan cahaya Islam. Mengantarkan sosok masyarakat menjadi masyarakat berdasakan Iman dan Ilmu pengetahuan.
Bagaimanakah sebenarnya sosok kedua sahabat yang begitu dekat dan dicintai oleh Rasulullah Saw. sebagai menantu, sahabat dan khalifah. Berikut saya jelaskan secara singkan namun sebisa mungkin saya usahakan lengkap.



BAB II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM
MASA UTSMAN BIN AFFAN 23-35 H (644-656 M) DAN
ALI BIN ABI THALIB 35-40 H (656-661 M)


A. Khalifah Ke-3 Utsman bin ’Affan ra. 23-35 H (644-656 M)
1. Siapa Utsman bin ’Affan ?
Utsman dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga suku Quraisy tepatnya klan Bani Umayyah, pada waktu itu Rasulullah Saw. berusia lima tahun. Moyangnya bertemu dengan nasab Nabi SAW pada generasi kelima. Sebelum masuk Islam biasa dipanggil dengan ”Abu Amar”. Ayahnya bernama ’Affan sedangkan ibunya bernama Arwa. Berkerabat dekat dengan Abu Sufyan. Maka nama lengkapnya Utsman bin ’Affan bin ’Abil Ash bin Umayyah.
Utsman terkenal sebagai seorang yang cerdas, pandai membaca dan menulis, jujur, lemah lembut dan piawai dalam berdagang sehingga mampu menjadi seorang yang kaya serta dihormati.
2. Utsman masuk Islam
Sewaktu pertama kalinya Nabi Muhammad SAW berdakwah secara sembunyi-sembunyi, usia Utsman 34 tahun. Pada suatu malam beliau bermimpi mendengar seseorang memanggil-manggil dirinya, ” Bangunlah! Engkau tiduran saja, sedang Ahmad sibuk berdakwah di Makkah.” Maka setelah bangun, jiwa dan pikirannya dipenuhi cahaya hidayah dan ilham ketuhanan. Maka dia menyatakan masuk Islam melalui Abu Bakar ra.
Beliau termasuk dalam Assabiqunal awwalun, yaitu orang-orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan saudagar. Masuknya Utsman menambah kokoh dakwah Islam pada masa-masa awal.
3. Peran dalam Islam
Tatkala dakwah Islam dilakukan secara terang-terangan, saat itulah segala bentuk kebencian dan penolakan gencar dilakukan oleh kaum kafir Quraisy. Karena kekejaman dan penyiksaan kafir Quraisy telah melampaui batas, maka Nabi SAW menyarankan kaum muslimin untuk hijrah ke Abbessinia (Ethiopia), Utsman beserta isteri turut menyertai para emigran muslim.Beliau termasuk sahabat yang selalu ikut dalam hijrah kaum muslimin. Hingga saat Nabi Saw hijrah ke Madinah.
Di waktu Rasulullah Saw mengerahkan ”Jaisy al-’Usrah” yaitu bala tentara yang dikerahkan ketika pasukan dalam kesulitan, yakni pada peperangan Tabuk, Utsman mendermakan 950 ekor unta, 59 ekor kuda dan 1000 dinar untuk keperluan pasukan muslimin. Pada peristiwa sebelumnya pun beliau banyak sekali berderma untuk kemenangan Islam. Beliau berada diurutan kedua setelah Abu Bakar dalam urusan mendermakan hartanya.
Utsman bin ’Affan adalah salah seorang yang telah diberi kabar gembira oleh Rasulullah Saw akan masuk surga. Ada suatu riwayat bahwasannya Rasulullah Saw pernah bersabda, yang artinya: ”Tiap-tiap Nabi mempunyai sahabat, dan sahabatku di surga adalah Utsman.”
Oleh karena hubungan beliau sangat akrab dengan Nabi Saw, maka Rasulullah mengawinkannya dengan puterinya, Ruqayyah. Sewaktu Ruqayyah meninggal saat terjadi perang Badr, maka nabi mengawinkannya dengan puterinya yang ke dua, Ummu Kultsum. Oleh karena itulah beliau mendapat gelar ”Dzu an-Nuraini” (yang memiliki dua cahaya). Ummu Kultum meninggal pada tahun 9 H, setelah itu Rasulullah berkata kepada Utsman: ”Andaikataada puteri kamai yang ke tiga, tentu akan kami nikahkan juga dengan engkau.”
Utsman juga pernah menjadi utusan Rasul kepada kafir Quraisy pada peristiwa perjanjian Hudaibiyyah.
4. Utsman bin ’Affan menjadi Khalifah
Saat Amirul mukminin Umar bin Kattab sakit keras akibat tikaman Firuz atau yang terkenal dengan Abu Lu’lu’ah, diminta oelh beberapa Sahabat untuk segera menentukan Khalifah pengganti beliau. Namun beliau tampak ragu dalam menentukan siapa tokoh yang paling tepat dalam memimpin umat saat beliau meninggal.
Sebenarnya beliau memiliki satu tokoh yang telah lama menjadi kandidat terkuat untuk menjadi pengganti beliau yaitu ’Ubaidah ibnu Jarrah. Namun sayang beliau telah lebih dahulu berpulang kehadirat Allah SWT.
5. Proses Pemilihan
Selang beberapa waktu sebelum sang Khalifah meninggal, Umar bin Khattab menetapkan enam tokoh sahabat besar yang mendampingi beliau sebagai dewan penasihat (Arbab-al-Syura). Keenam tokoh ini adalah golongan sahabat yang telah sering disebut oleh Rasulullah Saw. sebagai calon penghuni syurga. Keenam orang sahabat itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auff, dan Thulhah bin Ubaidillah.
Umar bin Khattab pun berpesan: ” Silahkan Suhaib al-Rumi menjabat sebagai al-Imam dalam setiap shalat selama tiga hari. Pada hari keempat sepeninggalku, hendaknya telah terpilih dan ditunjuk salah seorang diantara enam tokoh tersebut.
Setelah Umar bin Khattab meninggal, perundingan pun dilakukan di dalam rumah Musawwar bin Mukhrimat. Ketika perundingan baru dimulai, Abdurrahman bin Auff menyatakan mengundurkan diri. Tidak disangka keputusan darinya itu diikuti oleh ketiga sahabat yang lain, sehingga menyisakan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Dalam proses pemilihan semua sepakat bahwa Abdurrahman bin Auff ditunjuk sebagai ketua dewan syura. Proses pemilihan sendiri berjalan cukup alot karena kedua kandidat sama-sama memiliki keutamaan yang berimbang, yaitu sama-sama termasuk Assabiqunal awwalun, sama-sama termasuk golongan yang dijanjikan syurga, dan sama-sama menantu Nabi Saw.
Terjadi perdebatan yang keras antara kubu pendukung Utsman dan pendukung Ali. Hal ini memaksa Abdurrahman bin Auff melakukan kontak pribadi yang lebih luas dengan tokoh-tokoh Islam dan penduduk Madinah. Akhirnya pada akhir bulan Zulhijjah tahun 23 H/644 M pilihan jatuh kepada Utsman bin Affan dan diresmikan pada awal Muharram 24 H/644 M.
Dasar pemilihannya adalah:
1. Utsman bin Affan lebih senior
2. Kaum Mulimin menghendaki pemimpin yang lunak, tidak seperti Umar bin Khattab, sedangkan ’Ali lebih berkarakter mirip Umar.
6. Ekspansi
Sejak awal mula, penguasa Persia dan Bizantium Romawi senantiasa berusaha menghancurkan kekuatan muslim yang sedang tumbuh. Setelah kalifah Umar bin Khattab wafat, mereka mencoba lagi untuk melancarkan serangan ke wilayah perbatasan Islam. Pada tahun 26 H / 646 M militer di pelabuhan Alexandria, Mesir dan berhasil menduduki pelabuhan tersebut. Gubernur Mesir Amru bin Ashberjuang keras mengusir pasukan Romawi. Pada saat itu terjadi perselisihan antara Amr dan saudara sepupu Utsman yakni Sa’ad tentang kebijakan pemerintahan Mesir.
Akhirnya khalifah Utsman memutuskan untukmelepas jabatan Amr bin Ash dan menunjuk Sa’ad sebagai penggantinya. Pada tahun 31 H / 651 M. kaisar Romawi mengerahkan konvoi militer terdiri dari 500 buah kapal perang menyerbu Mesir. Pertahanan pasukan dipimpin oleh Panglima Abdullah dalam peperangan yang sangat dahsyat. Dan inilah yang menjadi prestasi awal pasukan Islam meraih kemenangan gemilang dalam peperangan laut.
Kemenangan itu hanya salah satu dari beberapa kemenangan pasukan Islam dalam pertempuran pembebasan wilayah yang dijajah oleh bangsa Persia dan Romawi yang kejam.
Perluasan wilayah Islam di wilayah Persia antara lain Hisraf, Kabul Gazna, Balkah dan Turkistan. Beberapa wilayah Khurasan seperti kota Nishapur dan Thus berhasil ditaklukkan. Sedangkan wilayah Romawi yang berhasil dibebaskan diantaranya Asia Kecil dan Cyprus.
8. Kodifikasi Al-Qur’an
Pada masa pemerintahan Utsman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa Arab saja ('Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al-Qur’an, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang Syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk Soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata : "Wahai Utsman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al-Qur’an, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".
Lalu Utsman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.
Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al-Qur’an ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka.
Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu Bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al-Qur’an.
Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
9. Awal Fitnah dan Pembunuhan Utsman
Pada tahun 33 H, Abdullah bin Mas’ud bin Abi Sarh menyerbu Habasyah. Seperti diketahui Utsman banyak mengangkat kerabatnya dari bani Umayyah untuk menduduki berbagai jabatan. Hal ini menimbulkan ketidak-senangan orang banyak terhadap Utsman.
Hal inilah yang dimanfaatkan pihak Yahudi, yaitu Abdullah bin Saba` dan teman-temannya untuk membangkitkan fitnah. Orang-orang menggugat Utsman atas kebijakan-kebijakannya mengangkat para kerabatnya. Utsman mengumpulkan para gubernur dan bermusyawarah. Akhirnya Utsman memerintahkan agar menjinakkan hati para pemberontak dan pembangkang tersebut dengan memberi harta dan mengirim mereka ke medan peperangan lain dan pos-pos perbatasan.
Abdullah bin Saba` berhasil menyebarkan pemikiran menyimpang di Mesir, menghasut masyarakat untuk menentang Utsman, dan juga pengkultusan terhadap Ali. Maka bergeraklah sekitar 600 orang ke Madinah dengan kedok akan berumrah. Padahal mereka ingin menyebarkan fitnah dalam masyarakat Madinah. Tatkala mereka hampir memasuki Madinah, Utsman mengutus Ali untuk menemui mereka. Sayyidina Ali menemui mereka dan membantah segala pemikiran mereka yang menyimpang, termasuk tentang pengkultusan atas dirinya. Mereka menyesali diri seraya berkata, “Orang inikah yang kalian jadikan alasan untuk memerangi dan memprotes Khalifah?” Kemudian mereka kembali dengan membawa kegagalan.
Atas usulan Ali, maka Utsman berpidato di hadapan orang banyak pada hari Jum’at untuk meminta maaf kepada masyarakat atas kebijakannya selama ini. Kemudian Utsman menegaskan kembali bahwa ia akan memecat Marwan dan kerabatnya.
Setelah peristiwa itu, Marwan bin Hakam menemui Utsman. Dia menghamburkan kecaman dan protes. Kemudian Marwan memberitahukan kepadanya bahwa di balik pintu ada segerombolan orang. Utsman menunjuk Marwan untuk berbicara kepada mereka sesukanya. Marwan berbicara kepada mereka dengan suatu pembicaraan yang buruk sehingga merusak apa yang selama ini diperbaiki oleh Utsman.
Ali segera menemui Utsman dan berkata, “Kenapa engkau meridhai Marwan sementara dia tidak menghendaki kecuali memalingkan engkau dari agama dan pikiranmu? Demi Allah, Marwan adalah orang yang tidak layak dimintai pendapat tentang agama atau dirinya sekalipun. Demi Allah, aku melihat bahwa dia akan menghadirkan kamu kemudian tidak akan mengembalikan kamu lagi. Saya tidak akan kembali setelah ini karena teguranku kepadamu.”
Setelah Ali keluar, masuklah Na`ilah dan memberikan pendapatnya, dia berkata, “Bertaqwalah kepada Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Ikutilah sunnah kedua shahabatmu yang terdahulu, sebab jika engkau mentaati Marwan, niscaya dia akan membunuhmu. Marwan adalah orang yang tidak memiliki harga di sisi Allah, apalagi rasa takut dan cinta. Utuslah seseorang menemui Ali guna meminta ishlahnya, karena dia memiliki kekerabatan denganmu dan dia tidak layak ditentang.”
Kemudian Utsman mengirim seseorang untuk menemui Ali, akan tetapi Ali menolak datang. Sikap ini merupakan permulaan krisis yang menyulut api fitnah dan memberikan peluang kepada tukang fitnah untuk memperbanyak kayu bakarnya dan mencapai tujuan-tujuan busuk yang mereka inginkan.
Penduduk Mesir datang mengadukan Ibnu Abu Sarh. Utsman mengirimkan surat berisi nasehat dan peringatan, tetapi Ibnu Abu Sarh tidak mau menerima nasihat dan peringatan tersebut dan bahkan bertindak keras terhadap orang yang mengadukannya. Maka atas usul para tokoh shahabat, digantilah Ibnu Abu Sarh dengan Muhammad bin Abu Bakar.
Surat keputusan ini kemudian dibawa oleh sejumlah shahabat ke Mesir. Tetapi baru 3 hari perjalanan dari Madinah, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang pemuda hitam yang mencurigakan, maka para shahabat itu menghentikan pemuda tadi. Ketika diperiksa terkadang dia mengaku sebagai pembantu Amirul Mu`minin yang diutus untuk menemui gubernur Mesir terkadang dia mengaku sebagai pembantu Marwan. Kemudian mereka mengeluarkan sebuah surat dari barang bawaannya. Surat itu berbunyi, “Jika Muhammad beserta fulan dan fulan datang kepadamu, maka bunuhlah mereka dan batalkanlah surat keputusan yang mereka bawa. Dan tetaplah engkau melakukan tugasmu sampai engkau menerima keputusanku. Aku akan menahan orang yang akan datang kepadaku mengadukan dirimu.”
Akhirnya para shahabat tersebut kembali ke Madinah dengan membawa surat tersebut dan memberitahukan hal ini kepada para tokoh shahabat. Persitiwa ini membuat Madinah gempar dan membenci Utsman. Ali segera mengumpulkan Thalhah, Zubair, Sa’ad, dan Ammar. Bersama mereka, Ali menemui Utsman dengan membawa surat, pembantu dan onta tersebut. Utsman mengakui bahwa stempel yang digunakan adalah stempel miliknya, dan onta itu adalah miliknya, dan pembantu itu adalah pembantunya.
Akan tetapi surat itu bukan ia yang menulis, bukan ia yang memerintahkan untuk menulis, dia sama sekali tidak mengetahui tentang surat tersebut. Kemudian setelah diperiksa ternyata surat itu adalah tulisan Marwan. Lalu mereka meminta Utsman agar menyerahkan Marwan kepada mereka. Tetapi Utsman tidak bersedia melakukannya, padahal Marwan ada di dalam rumahnya.
Atas tuntutan dan ancaman terhadap dirinya tersebut, khalifah Utsman menjawabnya, “Aku sama sekali tidak takut mati, dan bagiku kematian adalah ssuatu yang paling ringan, tetapi ketahuilah bahwa sesungguhnya aku tidak hendak bermusuhan dengan kalian semua. Kalau saja aku menghendakinya, niscaya hal itu mudah bagiku karena ribuan pasukanku tentu akan segera membelaku, namun sungguh aku tidak sampai hati menyaksikan aliran tumpahan darah sesame saudara muslim”
Akhirnya orang-orang di Madinah marah dan mengepung rumah Utsman dan tidak memberikan air kepadanya. Setelah Utsman dan keluarganya merasa kepayahan, ia menemui mereka seraya berkata, “Adakah seseorang yang sudi memberitahu Ali agar memberi air kepada kami?” Setelah mengetahui hal ini, Ali segera mengirim tiga qirbah air. Kemudian Ali mendengar desas-desus tentang adanya orang yang ingin membunuh Utsman, lalu Ali berkata, “Yang kita inginkan darinya adalah Marwan, bukan kematian Utsman.”
Kemudian Ali menyuruh Hasan dan Husain untuk menjaga pintu rumah Utsman. Sejumlah shahabat juga melakukan hal yang sama untuk menjaga Utsman. Ketika para pengacau menyerbu pintu rumah Utsman untuk membunuhnya, Hasan dan Husain serta para shahabat berusaha menghentikan mereka. Maka para pengacau itu akhirnya melakukan aksi kembali dengan lebih hebat dan berhasil masuk secara sembunyi-sembunyi melalui atap rumah. Mereka berhasil membunuh Khalifah Utsman bin Affan ra. Ketika mendengar ini Ali datang dengan wajah marah dan memarahi kedua anaknya.
Pada tanggal 17 Juni tahun 656 M Khalifah Utsman bin Affan ditikam dan dibunuh tepat ditengah-tengah keluarganya tatkala beliau sedang membaca al-Qur’an. Kepergian beliau menghadap Allah SWT merupakan awal dari datangnya fitnah yang lebih besar diantara kaum muslimin. Wallahu a’lam bis Showab.

A. Khalifah Ke-4 ’Ali Bin Abi Thalib ra. 36-41 H (656-661M)
1. Siapa Ali Bin Abi Thalib?
Ali berasal dari suku Quraisy pada Bani Hasyimiyah. Kemenakan dari Nabi Saw, Abu Thalib, paman yang mengasuh Beliau setelah sang kakek meninggal. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Munthalib bin Hasyim.
Beliau lahir sepuluh tahun sebelum kerasulan Muhammad Saw. Semenjak kecil berada dalam asuhan dan bimbingan Nabi sehingga Nabi mencintai Ali seperti anak sendiri.
Dan karena sejak kecil dalam bimbingan Nabi, maka ia banyak mengetahui perihal kehidupan Nabi Saw. Tidak salah jika Ali terkenal sebagai seorang yang cerdas, pandai, jujur, tidak pernah menyembah berhala dan piawai dalam berperang sehingga mampu menjadi seorang pemuda yang dihormati dan disegani.
Ketika Nabi Saw. menyerukan dakwah Islam Ali dengan yakin mempercayai dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Beliau termasuk dalam Assabiqunal awwalun, yaitu orang-orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan pemuda.
2. Pembai’atan Ali dan Mencari Pembunuh Utsman
Ali keluar dari rumah Utsman dengan penuh kemarahan. Sementara itu orang-orang berlarian mendatangi Ali seraya berkata, “Ulurkan tanganmu untuk kami bai’at.” Ali menjawab, “Urusan ini bukan hak kalian, tetapi hak para pejuang Badr. Siapa yang disetujui oleh Ahli Badr, maka dialah yang berhak menjadi khalifah.” Maka semua Ahli Badr keluar dan mendatangi Ali seraya berkata, “Kami tidak melihat adanya seorang yang lebih berhak menjabat sebagai khalifah selain dirimu. Ulurkanlah tanganmu untuk kami bai’at.” Lalu mereka membai’at Ali ra. Hal ini terjadi pada pertengahan bulan Dzul Hijjah 33 H.
Setelah dibai’at Ali langsung berpidato, “Wahai manusia, kalian telah membai’atku sebagaimana pada khalifah terdahulu. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan…Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Barang siapa ingkar padanya, maka terpsahlah ia dari Islam.”
Setelah diselidiki ternyata pembunuhnya adalah dua orang yang masuk bersama Muhammad bin Abu Bakar. Akan tetapi Muhammad bin Abu Bakar tidak jadi membunuh Utsman ra disebabkan teringat akan bapaknya, dan ia pun bertaubat. Ibnu Asakir meriwayatkan dari Kinanah, mantan budak Shafiah, dan juga dari lainnya, mereka berkata, “Utsman dibunuh oleh seorang lelaki dari Mesir.”
3. Menuntut Pembelaan untuk Utsman dan Perang Onta
Ali berusaha untuk melakukan qishash terhadap para pembunuh Utsman. Thalhah dan Zubair bersama sejumlah Shahabat berpendapat agar Ali segera menangkap para pembunuh dan melaksanakan qishash. Guna menjamin terlaksananya qishash dan menghindarkan fitnah, mereka menawarkan kepada Ali agar mendatangkan pasukan dari Bashrah dan Kufah untuk mendukungnya. Tetapi Ali meminta mereka agar menunggu sampai ia menyusun program yang baik untuk melaksanakan qishash.
Berkumpullah orang-orang yang berpendapat agar segera melaksanakan qishash di Bashrah agar dapat menjadi peringatan bagi penduduk Bashrah akan perlunya kerjasama dalam mengepung para pembunuh Utsman dan menuntut darah dari mereka. Diantara yang berpendapat demikian adalah Aisyah, Thalhah, Zubair dan sebagian besar shahabat.
Saat itu pasukan Ali berangkat ke sana guna melakukan ishlah dan menyatukan kalimat. Al-Qa’qa bin Amr sebagai utusan dari pihak Ali ra menemui Aisyah seraya berkata, “Wahai ibunda, apakah yang mendorong kedatangan ibunda ke negeri ini?” Aisyah menjawab, “Ishlah diantara manusia.” Kemudian Al-Qa’qa menemui Thalhah dan Zubair dan menanyakan hal yang sama. Keduanya menjawab, “Kami juga demikian.” Kemudian semua pihak berbicara dan berunding yang akhirnya sepakat untuk menyerahkan urusan ini kepada Ali. Ali pun bersyukur atas tercapainya kesepakatan tersebut.
Tetapi Abdullah bin Saba dan kawan-kawannya merencanakan untuk mengadu kedua belah pihak. Orang-orang yang melakukan konspirasi jahat ini bergerak sebelum fajar. Jumlah mereka hampir 2000 orang. Mereka melakukan serangan mendadak. Akhirnya orang-orang bangun dari tidurnya dan membawa pedang seraya berkata, “Para penduduk Kufah menyerang kita pada malam hari dan berkhianat kepada kita.“ Mereka mengira bahwa tindakan tersebut adalah rencana busuk dari Ali. Setelah mendengar berita ini Ali berkata, “Apa yang terjadi pada masyarakat?” Orang-orang yang berada di sekitarnya berteriak, “Orang-orang Bashrah menyerang kami di malam hari dan berkhianat terhadap kita.” Kemudian masing-masing pihak mengambil pedang dan baju perangnya tanpa mengetahui hakikat yang sebenarnya. Terjadilah peperangan di antara mereka. Pasukan Ali sekitar 20.000 orang, adapun pasukan Aisyah berjumlah sekitar 30.000 orang. Aisyah ikut maju dengan mengendarai onta.
Pasukan Abdullah bin Saba` tidak henti-hentinya melakukan pembunuhan dan tidak peduli terhadap penyeru dari pihak Ali yang menyerukan kepada mereka semua untuk berhenti.
Ketika kedua pihak telah menyadari dengan siapa sebenarnya mereka berhadapan, maka mereka saling menahan diri dan menghentikan peperangan. Ketika pasukan Ali mendekati pasukan Thalhah dan Zubair, maka keluarlah Ali dengan menunggang baghal Rasulullah Saw, kemudian memanggil Zubair dan berkata, “Wahai Zubair, demi Allah, apakah engkau ingat ketika Rasulullah bertanya kepadamu: ‘Wahai Zubair apakah kamu mencintai Ali?’ Lalu kamu menjawab: ‘Mengapa aku tidak mencintai anak bibiku dan anak pamanku bahkan seagama denganku?’ Kemudian Nabi Saw bersabda: ‘Wahai Zubair, demi Allah, satu saat engkau pasti akan memeranginya dan mendzhaliminya.’”
Zubair menjawab, “Demi Allah, aku telah lupa akan hal itu. Tetapi sekarang aku telah teringat lagi. Demi Allah, aku tidak akan memerangimu untuk selama-lamanya.” Kemudian Zubair kembali dengan menunggang kendaraannya membelah barisan. Kemudian kedua belah pihak kembali berdamai.
4. Masalah Mu’awiyah dan perang Shiffin
Ali kembali ke Kufah yang telah dijadikan sebagai pusat khilafah. Sesampainya di Kufah, Ali segera mengirim Jurair bin Abdullah Al-Bajli kepada Mu’awiyah di Syam guna mengajak bergabung untuk membai’at Ali. Akan tetapi Mu’awiyah menolak kecuali jika pembunuh Utsman telah diqishash. Ali menganggap hal ini sebagai pemberontakan. Maka Ali mengirim pasukannya ke Syam pada 12 Rajab 36H. Mu’awiyah pun segera memberangkatkan pasukannya hingga kedua pasukan itu bertemu di Shiffin, di tepi sungai Eufrat. Selama dua bulan lebih kedua belah pihak saling mengirimkan utusan-utusan. Ali mengajak Mu’awiyah untuk membai’at. Dan Mu’awiyah menyerukan kepada Ali agar segera mengqishash pembunuh Utsman sebelum melakukan urusan lain. Selama perundingan itu mungkin telah terjadi beberapa pertempuran kecil.
Keadaan ini terus berlanjut hingga bulan Muharram 37 H. Lalu kedua pihak melakukan gencatan senjata selama sebulan dengan harapan dapat dicapai ishlah. Tetapi gencatan senjata berakhir tanpa hasil yang diharapkan. Lalu Ali memerintahkan seorang petugas untuk mengumumkan demikian: “Wahai penduduk Syam, Amirul Mu`minin menyatakan kepada kalian bahwa aku telah memberi waktu yang cukup kepada kalian untuk kembali kepada kebenaran, tetapi kalian tetap tidak mau berhenti dari pembangkangan dan tidak mau kembali kepada kebenaran. Karena itu, kini aku kembalikan perjanjian ini kepada kalian dengan penuh kejujuran. Sesungguhnya Allah tidak mencintai para pengkhianat.”
Pada saat itulah kedua belah pihak memobilisasi pasukannya masing-masing. Terjadilah pertempuran selama 7 hari. Akhirnya Mu’awiyah dan pasukannya terdesak. Saat itulah Mu’awiyah dan Amr bin Ash berunding. Amr mengusulkan agar Mu’awiyah mengajak penduduk Iraq untuk berhukum kepada Kitab Allah. Lalu Mu’awiyah memerintahkan seorang petugas supaya mengangkat Mushhaf di ujung tombak dan menyerukan, “Ini adalah Kitab Allah diantara kami dan kalian.” Ketika pasukan Ali melihat hal ini terjadilah perselisihan diantara mereka, ada yang setuju untuk berhukum kepada Allah dan melaksanakan qishash dengan segera dan ada yang meninginkan peperangan terus berlanjut sebab menduga bahwa hal itu hanyalah tipu daya.
Maka Ali mengutus Al-Asy’ats bin Qais kepada Mu’awiyah untuk menanyakan apa sebenarnya yang dikehendakinya. Mu’awiyah menjelaskan, “Mari kita kembali kepada Kitab Allah. Kami pilih seorang wakil yang kami setujui dan kalian pilih pula seorang wakil yang kalian setujui. Kemudian kita semua menyumpah kedua wakil tersebut untuk memutuskan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Apa pun keputusan kedua wakil tersebut wajib kita ikuti.”
Penduduk Syam memilih Amr bin Ash, sedangkan penduduk Iraq memilih Abu Musa Al-‘Asy’ari. Maka diperoleh kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata hingga ada keputusan dari kedua hakim yang akan melakukan pertemuan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan 37H. Ali kembali ke Kufah. Sementara pasukan Ali terpecah. Mereka yang menganggap bahwa tahkim tersebut adalah suatu kesesatan tidak lagi menganggap Ali sebagai khalifah. Mereka berjumlah 12.000 orang dan berhimpun di Harura`. Mereka inilah yang disebut Khawarij.
Pada bulan Ramadhan 37 H, dua hakim melakukan pertemuan di Daumatul Jandal. Lalu kedua hakim itu, yaitu Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari, memutuskan untuk mencopot Ali dan Mu’awiyah kemudian menyerahkan urusan ini kepada syura kaum Muslimin untuk menentukan pilihan mereka sendiri.
Mereka berdua menemui khalayak dan Amr bin Ash mempersilahkan Abu Musa untuk berbicara terlebih dahulu. Maka Abu Musa berkata, “Wahai manusia, setelah membahas urusan ummat ini, kami berkesimpulan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih dapat mewujudkan persatuan selain dari apa yang telah aku dan Amr sepakati. Yaitu kami mencopot Ali dan Mu’awiyah.”
Setelah menyampaikan kalimatnya, Abu Musa mundur, kemudian giliran Amr untuk berbicara. Maka Amr bin Ash berbicara, “Sesungguhnya Abu Musa telah menyatakan apa yang kalian dengar. Ia telah mencopot kawannya dan aku pun telah mencopotnya sebagaimana dia. Tetapi aku mengukuhkan kawanku Mu’awiyah.” Setelah peristiwa ini orang-orang pun bubar dengan rasa kecewa dan tertipu.
5. Masalah Khawarij dan Terbunuhnya Ali
Setelah menolak keputusan tersebut yang merupakan rekayasa dari pihak Mu’awiyah, Ali berangkat memimpin pasukan besar ke Syam untuk memerangi mu’awiyah. Akan tetapi kaum khawarij telah melakukan kerusakan sedemikian rupa, maka Ali memerangi mereka terlebih dahulu. Akhirnya kaum khawarij dapat dikalahkan.
Berbagai situasi buruk terus menimpa Ali. Sebagian penduduk Iraq melakukan pembangkangan kepada Ali. Sementara masalah di Syam semakin meningkat.Abdurrahman bin Muljim seorang tokoh khawarij ingin menikah dengan Qitham. Karena ayah dan saudara Qitham terbunuh oleh pasukan Ali,
maka ia mensyaratkan kepada ibnu Muljim agar membunuh Ali terlebih dahulu.
Pada malam Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H, Abdurrahman bin Muljim mengincar Ali di depan pintu yang biasa dilewatinya. Seperti biasa Ali keluar membangunkan orang untuk shalat shubuh, tetapi ia dikejutkan oleh Ibnu Muljim yang menebas kepalanya dengan pedang sehingga darahnya mengalir di jenggotnya.
Ketika sakaratul maut, Ali tidak mengucapkan kalimat apa pun selain La ilaha illallah. Beliau wafat pada usia 60 tahun. Khilafahnya berlangsung selama 5 tahun kurang 3 bulan. Sedangkan Ibnu Muljim, pelaksanaan qishashnya dilakukan oleh Hasan ra, kemudian jasadnya dibakar dengan api.


BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan penulis diatas, dapat kita ambil beberapa kesimpulan diantaranya;
1. Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah khalifah terkahir dalam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
2. Pada masa pemerintahan Utsman al-Qur’an berhasil dikodifikasi sebagai wujud usaha demi tetap utuhnya kesatuan umat Islam.
3. Dalam pemerintahan Ali terjadi perselisihan karena besarnya fitnah yang bergejolak hingga terjadi beberapa pertempuran. Umat Islam terpecah menjadi tiga kubu, kelompok pembela Ali (Syi’ah), pendukung Mu’awiyah dan pendukung Ali yang kecewa yang akhirnya hendak membunuh Ali dan Mu’awiyah (Khawarij) karena dianggap sebagai faktor perpecahan ummat.
4. Benih-benih fitnah pada akhir-akhir pemerintahan Utsman dan pada pemerintahan Ali telah dimanfaatkan Abdullah bin Saba`. Abdullah bin Saba` adalah seorang agen Yahudi yang menyebarkan khurafat mengenai Ali ra. Dari sini kita mengetahui bahwa perpecahan ummat Islam menjadi dua kubu, yaitu Sunni dan Syi’i adalah merupakan buah tangan Abdullah bin Saba`.


DAFTAR PUSTAKA


K. Ali, Prof. Sejarah Islam dari Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Usmani (Tarikh Pramodern). Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1997
Syalabi, Ahmad. Prof. DR. Sejarah dan Kebudayaan Islam I. Jakarta. Pustaka Al Husna.1987
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin. Jakarta. Bulan Bintang. 1979

Read More......