Sebuah Cinta Bagi Kehidupan (1)

Senin, Maret 23, 2009

Dimana Cinta Berawal

Pembahasan tentang cinta adalah pembahasan yang tiada akan habis-habisnya. Satu perkara yang paling banyak diperbincangkan oleh pemuda dan pemudi di seluruh dunia. Maka, dimanakah posisi cinta di dalam hati kita? Kita harus benar-benar jujur dan terbuka terhadap hati kita.

Saya tentu akan sangat berhati-hati untuk masuk dalam pembahasan ini secara langsung. Sebagian pemuda mungkin akan berkata bahwa mereka telah mengetahui apa yang akan dibahas dalam masalah ini, hingga akan sangat banyak sekali yang tidak akan meneruskan untuk membaca hal ini.

Tidak ada di dunia ini yang akan mampu mengartikan dan memberikan pengertian tentang cinta. Karena ia hanya bisa dirasakan dalam hati. Maka setiap orang berhak memberikan pengertian tentang cinta. Di sini saya hanya kana menyampaikan meneurut pandangan saya.

Cinta: Sebuah Fitrah

Apakah cinta merupakan naluri alami yang diciptakan Allah untuk manusia? Apakah manusia mungkin hidup tanpa cinta? Anda tentu tahu, bahwa saat ini berbicara tentang cinta dalam konteks agama. Anda boleh mengira bahwa kita akan mengatakan; ”Cinta adalah cintamu untuk ayah dan ibumu.” Benar. Itu termasuk salah satu jenis cinta. Asal mula cinta tentu saja dari Allah SWT. Namun biarlah kita menanyakan; “mungkinkah manusia tidak butuh cinta, serta hidup tanpa cinta, tanpa mencintai dan dicintai?. Apakah hal itu mungkin?” tentu saja jawabannya “Tidak.” Meski akan da yang menjawab “Mungkin.”

Tetapi patut kita cermati, tak ada seorang pun yang hidup tanpa cinta. Kalau perasaan alami ini tidak Allah ciptakan niscaya manusia tidak akan mempunyai harapan untuk meneruskan hidup atau berkembang biak. Naluri inilah yang menjadi salah satu sebab yang menajdikan kehidupan berlangsung terus. Jadi, mana mungkin kita bisa berpikir untuk menghilangkan ataupun membuangnya dari kehidupan kita. Tidak mungkin juga kita berpura-pura menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak ada.

Sebagian orang akan mengira, bahwa pada saat kita sedang berbicara dalam konteks agama, maka tidak ada yang namanya cinta. Ini tentu saja merupakan anggapan yang keliru.
Naluri untuk mencintai dan dicintai telah ada sejak dimulainya kehidupan; sejak diciptakannya Nabi Adam as. Dalam Hadits telah diceritakan bahwa Nabi Adam, saat ia memasuki surge ia merasa tidak nyaman. Walau ia telah berada dalam kenikmatan surgawi, ia merasakan ada sesuatu yang kurang. Ia merasakan bahwa ia membutuhkan sesosok pendamping. Ini bukan cerita khayalan, melainkan bersumber dari perkataan Nabi SAW.

Maka tatkala Nabi Adam tertidur, Allah menciptakan sesosok makhluk lain. Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuknya. Saat ia terbangun dari tidurnya, ia melihat Hawa telah berada disampingnya. Nabi Adam berkata,”Siapa kamu?” Ia menjawab, “Aku perempuan”. “Siapa namamu?” “Namaku Hawa”. Mengapa kamu diciptakan?” Hawa menjawab,” Untuk tinggal…”
Kata “tinggal” ini adalah ketenangan. Hawa bukanlah budak Adam ataupun miliknya. Namun yang dimaksud disini adalah,”Wahai Adam, atau wahai setiap bani adam yang berada dimuka bumi sampai hari kiamat, tidak ada tempat ada tempat tinggal dan ketenangan bagimu, kecuali bila kamu berada disamping Hawa. Itulah agama dan pemahaman kita. Islam menempatkan fitrah sesuai dengan tempatnya.

Pandangan Terhadap Perempuan

Yang menakjubkan, jika kita membaca kitab-kitab samawiyyah (agama langit: yahudi dan nasrani) atau kitab-kitab lain selain samawiyyah dalam agama-agama lain. Kita akan mendapati pandangan mereka terhadap kaum hawa sangat buruk dan terkesan dhalim.

Ia melihat perempuan bukan termasuk jenis manusia. Perempuan mempunyai derajat lebih sedikit dan lebih rendah daripada laki-laki. Diantara kitab-kitab itu ada yang berpandangan, bahwa Hawa-lah yang menyebabkan Adam jatuh ke dalam maksiat, penyebab turunnya Adam ke bumi, serta penyebab Adam memakan buah terlarang yang berarti Adam melanggar perintah Allah.

Padahal, sebenarnya al-Qur’an sama sekali tidak pernah mengatakan seperti itu. Al-Qur’an meletakkan kesalahan itu kepada keduanya (Adam dan Hawa). Keduanya pula yang bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Mari kita renungkan ayat ini:

Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya. Dan setan berkata:” Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)” (al-A’raf [7]:20)

Ayat ini tidak hanya berbicara mengenai Iblis yang telah menertawakan serta menipu haw saja, tetapi juga berbicara tentang iblis yang telah menggoda dan menggelincirkan mereka berdua. Tanggung jawab tersebut dipikul berdua. Keduanya telah memakan buah yang terlarang dan keduanya juga telah diturunkan ke bumi.

Jadi itu bukan semata-mata kesalahan Hawa saja, melainkan juga kesalahan Adam. Sekali lagi Islam meletakkan perkara ini pada posisi yang tepat. Perempuan diletakkan sejajar dengan kaum laki-laki. Hanya satu hal yang membedakan, hanya tanggung jawab. Wanita berada dibawah tanggung jawab laki-laki.

Bayangkan saja jika itu hanya kesalahan Hawa, maka hanya Hawa yang akan diturunkan ke dunia. Sungguh tidak adil. Hanya iman dan taqwa seseorang lah yang menjadikan Ia mulia…
Wallahu a’lam….

Diedit dari Buku Dengarkan Suara hati karya ‘Amru Khalid halaman 99-101

0 komentar: